Friday, February 23, 2007

Dunia Ekonomi Kita

Sungguh memprihatinkan negara ini. Derita rakyat miskin semakin bertambah akibat dari salah urus. Harga BBM yang naik pada 2005 diikuti dengan terjadinya inflasi semakin memperparah kondisi kemiskinan. Kemiskinan di Indonesia pada tahun 2006 mencapai angka 39.05 juta jiwa dengan angka pengangguran terbuka 11,1 juta jiwa. Hal ini berarti ada kenaikan 4,5 juta jiwa dari tahun 2005 dimana angka kemiskinan mencapai 35,1 juta jiwa. Di tahun 2007 kondisi rakyat miskin semakin memprihatinkan. harga beras naik dari 3.500 / kg menjadi 6.500 /kg. Derita ini ditambah dengan permainan tengkulak dimana harga gabah kering pada musim panen kali ini jatuh dari 220.000/kwintal menjadi 180.000 / kwintal. Kondisi ini memunculkan pergeseran kemiskinan atau istilahnya transient poverty. Berdasar data BPS sekitar 56,51 % penduduk miskin 2005 tetap menjadi miskin di tahun 2006 dan sisanya berpindah posisi menjadi tidak miskin. Sebaliknya hampir 30,29 % penduduk hampir miskin tahun 2005 menjadi miskin pada 2006. Bahkan 2,29% penduduk tidak miskin di tahun 2005 jatuh miskin di tahun 2006. Format penanggulangan kemiskinan yang diupayakan pemerintah tak juga menghasilkan sesuatu yang konkret, terkesan lebih banyak lipstik dan menjaga image. Sedangkan format penanggulangan kemiskinan yang diupayakan oleh lembaga zakat terkesan kurang effektif karena memang tidak didukung dengan capital gain yang cukup. Perbandingannya adalah sebagai berikut : jika seluruh LAZ dan BAZ dijumlah total penghimpunannya dalam satu tahun mencapai angka 800 milyar, sedangkan pemerintah mengucurkan dana pengentasan kemiskinan dalam jumlah sekitar 60 trilyun untuk SLT/BLT belum dihitung untuk P2KP. to be continued...........

Thursday, February 1, 2007

Efektifitas Pendekatan Budaya dan Agama di Aceh

Aceh sebagai sebuah entitas etnis dan wilayah tertentu sangat berbeda dengan etnis atau wilayah lainnya di Indonesia. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan “terbuka”. Di daerah Nanggroe Darussalam ini terdapat 8 sub etnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan subetnis tersebut mempunyai sejarah asal-usul dan budaya yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Misalnya, menurut sejarahnya, sub etnis Aneuk Jamee merupakan pendatang yang berasal dari Sumatera Barat (etnis Minangkabau) sehingga budaya subetnis Aneuk Jamee mempunyai kemiripan dengan budaya etnis Minangkabau. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa berdasarkan asal-usulnya, etnis Aceh dibagi ke dalam empat kawom (kaum) atau sukee (suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552).
Keempat kawom atau sukee tersebut, yaitu :
  1. Kawom atau sukee lhee reutoh (kaum atau suku tiga ratus). Mereka berasal dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli.
  2. Kawom atau sukee imuem peut (kaum atau suku imam empat). Mereka berasal dari orang-orang Hindu atau India sebagai pendatang.
  3. Kawom atau sukee tol Batee (kaum atau suku yang mencukupi batu). Mereka bersal dari berbagai etnis, pendatang dari baerbagai tempat.
  4. Kawom atau sukee Ja Sandang (kaum atau suku penyandang). Mereka adalah para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam.

Setelah tsunami memporak porandakan Aceh, disusul banjir di penghujung tahun 2006, kini upaya untuk membangun masyarakat Aceh pun dimulai. PILKADA yang lalu telah menghasilkan kepemimpinan Aceh yang baru dengan dimenangkannya PILKADA oleh pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad nazar. Sebuah pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana membangun masyarakat Aceh kembali seperti sejarah keemasannya yang sudah samapai pada Go International? Bagi Aceh, memang sejarahnya demikian; pernah melambung “go internasional“ dan kini “down“dengan berbagai cibiran dan pelecehan, tidak hanya lintas nasional, bahkan juga “go internasional (negative culture), menjadi sedikit lumayan ketika di gunakan dalam istilah “turun menjadi kearifan lokal“. Dari aspek sosiologis tak mungkin menyalahkan sejarah, tetapi semua orang berhak untuk berbuat sejarah. Kondisi itu dan kini tentu suatu tantangan!

Ada dua pendekatan yang bisa dilakukan sebagai bahan penyusunan platform pembangunan Aceh. Dua pendekatan itu adalah : budaya dan agama. Budaya, karena masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang tersusun dari budaya yang berbeda. Seorang ulama Aceh terkenal pada abad XIX , yaitu Teungku Kutakarang yang popular dengan sebutan Teungku Chik Kutarakarang (meninggal 1895) dalam karyanya Tadhkirat al Radikin menyebutkan bahwa orang Aceh terdiri atas tiga pencapmuran darah yaitu Arab, Persi, dan Turki. Teungku Chik Kutakarang tidak menyebutkan adanya pencampuran dengan suku-suku bangsa lain seperti India dan lainnya. Pendapat yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Julius Jacob, seorang sarjana Belanda dalam karyanya Het Familie en Kampongleven Op Groot Atjeh (1894) (Kehidupan Kampung dan Keluarga di Aceh Besar). Di sini Jakob mengatakan bahwa orang Aceh adalah suatu anthropologis mixtum, suatu percampuran darah yang berasal dari pelbagai suku bangsa pendatang. Ada yang berasal dari Semenanjung Melayu, Melayu-Minangkabau, Batak, Nias, India, Arab, Habsyi, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Dapat disebutkan pula bahwa sultan-sultan terakhir yang memerintah di Kerajaan Aceh secara berturut-turut semenjak Sultan Alaidin Ahmadsyah (1727) sampai dengan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) dan yang terakhir Sultan Muhammad Daudsyah (1874-1903) adalah berasal dari Bugis.

Agama, karena masyarakat Aceh adalah masyarakat yang memegang teguh agama dan keyakinannya. Ada semboyan di masyarakat Aceh lebih baik mati daripada harus berganti agama (murtad). Hal ini sejalan dengan budaya Aceh yang sarat dengan nilai-nilai Islam.Maka untuk mengembangkan dan membangun masyarakat aceh, pendekatan budaya dan Agama hendaknya berpegang pada beberapa asas antara lain:

a. Setia kepada aqidah Islami (hablum minallah)
b. Bersifat universal (tidak ada gap antar agama, antar bangsa dan antar suku)
c. Persatuan dan kesatuan (hablum minan nas)
d. Rambateirata (kegotong royongan, tolong menolong)
e. Panut kepada imam (pemimpin)
f. Cerdas dengan ilmu membaca dan menulis (iqra’ dan kalam/menulis )

Selanjutnya, menjadi bahan diskusi kita semua, apakah pendekatan agama dan budaya ini efektif untuk membangun masyarakat Aceh?